Sabtu, 26 November 2011

LAKRI "Selembar Uraian Yang Patut Kita Renungkan"





1 Muharram 1433 H


Bangsa Kita Terserang Disleksia Akut!

Disleksia, sebuah istilah yang mungkin jarang kita dengar, berasal dari bahasa Yunani: Dys berarti kesulitan, sedang lexis berarti bahasa. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi gangguan kesehatan akan ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan orang tersebut untuk melakukan aktifitas literasi, seperti membaca, menulis, menghafal dan menganalisa teks.

Tentunya kita tak pernah menginginkan sanak keluarga kita mengalami gangguan kesehatan semacam ini. Namun, sangat memprihatinkan karena tanpa disadari bangsa kita mengidap penyakit ini pada stadium cukup tinggi. Berdasarkan ata Kemendiknas tahun 2009, tercatat 8,5 juta (5,03%) penduduk Indonesia pada usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara, dan sebagian besar didominasi perempuan. Sedangkan penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf di tahun yang sama menempatkan Indonesia di urutan 111 dari 173 negara.

Sangat memprihatinkan, memang. Selain itu, kita dapat menangkap gejala buruk ini dari merosotnya kualitas pemimpin di negeri ini. Coba kita telaah bersama para founding father bangsa seperti Bung Karno, Syahrir, Tan Malaka, Moh Hatta, dll, yang hidup di masa-masa pendidikan masih sangat langka, dan hidup dalam periode perjuangan yang sangat berat, belum lagi ditambah berbagai hukuman pembuangan maupun penjara, tetapi masih bisa melahirkan ide-ide progressif. Hingga saat ini kita masih dapat mempelajari beragam ide-ide segar dan progresif dalam beribu lembar karya tulis.

Mungkin, inilah yang dimaksud oleh Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan terbesar Indonesia, saat mengatakan bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Sedangkan di era pasca kemerdekaan, terutama sejak Orde baru dibawah naungan Soeharto hingga era Reformasi kini, kita selalu saja disuguhi pemimpin-pemimpin disleksia yang “mati selagi hidup”. Mereka begitu mudah melupakan janji dan tanggung jawabnya. Mereka pun sulit menelurkan gagasan progress sebagai jalan keluar dari kemelut kemiskinan dan penjajahan gaya baru saat ini, apa lagi jika kita berharap mereka mampu melahirkan karya tulis agung seperti para pendahulunya.

Kondisi tak jauh berbeda pun dialami oleh jutaan jiwa anak bangsa yang tumbuh dalam dunia pendidikan. Ini nampak pada perilaku contek-mencontek yang sudah dianggap sebagai tradisi lumrah, yang secara sadar dilakukan secara turun temurun. Gejala buruk ini tak hanya dapat kita temui dari perilaku anak usia SD hingga SMA saja, tapi intelektual setaraf mahasiswa hingga professor pun kerap terjangkit penyakit mental yang sama. Seperti beberapa waktu lalu di media massa terungkap seorang professor yang sempat mendapat penghargaan rekor atas produktifitas karyanya namun ternyata hasil plagiat.

Ironis sekali, padahal bagi saya, anak Nusantara ini sangatlah berpotensi menjadi bangsa yang produktif menuangkan beragam gagasan cemerlangnya ke dalam bentuk tulisan sebagai jembatan yang akan menghubungkan dan menyebarluaskannya kepada orang lain hingga dapat dimaknai dan membuahkan perubahan di negerinya. Mengingat bahwa negeri ini dianugerahi keberagaman budaya maupun alam dan fenomenanya yang muncul sebagai lumbung subur bagi lahirnya ide-ide progresif.

Benang Kusut Sistem Pendidikan

Saya tidak mau menyalahkan masyarakat Indonesia yang budaya membacanya sangat rendah. Menurut penelitian CSM di 13 negara, pelajar setingkat SMA rata-rata membaca 0 buku per tahun. Bandingkan dengan Brunei Darussalam yang mencapai 7 buku minimal. Bagaimanapun, masyarakat hidup dan beregenerasi serta membangun budayanya dibawah naungan sistem kekuasaan negaranya.

Dengan demikian, buruknya budaya literasi yang kita alami saat ini merupakan hutang besar yang tertumpuk bagi pemerintah sebagai hasil “salah urus” dari sistem pendidikan nasional yang diterapkan selama ini. Pergantian kurikulum yang terus menerus berlangsung beberapa tahun terakhir menunjukkan ketidak seriusan pemerintah dalam merumuskan sistem pendidikan jangka panjang. Belum lagi dengan menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang memiliki kurikulum tersendiri, membuat anak bangsa ini semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Selain itu, konsentrasi berlebihan pada ujian nasional membuat sebagian besar anak sekolah tidak berani bereksperimen membaca dan menulis. Mereka dipaksa berkutat dengan buku, banku, soal dan lembaga-lembaga kursus yang sangat terampil mendidik anak sebagai penjawab soal yang pintar namun miskin gagasan. Begitu pula yang terjadi di bangku perkuliahan, semua hal ini terutama harus difahami sebagai konsekuensi logis dari penerapan liberalisasi pendidikan oleh pemerintah.

Saat ini kita dapat kita amati perguruan tinggi tumbuh subur hingga ke pelosok. Tetapi, yang terasa ganjil adalah munculnya dominasi jurusan-jurusan popular yang sangat akrab dengan industri pasar tenaga kerja, dan mayoritas jurusan tersebut bukanlah jurusan yang menekankan pada aspek pembelajaran teoritik yang cukup banyak aktifitas baca-tulisnya, melainkan pembelajaran aplikatif yang harus berkesesuaian dengan kebutuhan industri. Hal ini semakin memperburuk keadaan karena melahirkan budaya “serba instant” di kalangan generasi muda.

Celah Perubahan

Analogi sepele yang saya fikir bisa memperkuat analisa ini adalah: mari kita lihat seberapa aktifnya masyarakat Indonesia dari segala usia dalam konteks rutinitas komunikasi melalui pesan singkat ataupun jejaring social di internet; mulai dari membuat status hingga saling komentar. Meski kualitas komunikasi dalam hal ini terbilang sepele, bagi saya, ini adalah bukti kuantitatif yang nyata bahwa masih ada titik cerah sebagai harapan kita bersama untuk terbebas dari penyakit disleksia akut yang selama puluhan tahun kita idap.

Berangkat dari analisa bahwa sumber kegagalan budaya literasi yang baik di negeri ini adalah buruknya sistem pendidikan nasional. Masih dalam kerangka memperingati Hari Literasi Internasional pada 8 September lalu, saya berusaha mengusulkan gagasan sederhana, sebagai berikut ;

Pertama, sangat dibutuhkan munculnya komitmen serius dari pemerintah melalui perombakan sistem pendidikan yang benar-benar memberi ruang kreatifitas dan menempa anak didik dalam budaya Literasi yang intensif. Hal ini sangat berkaitan erat dengan kurikulum pendidikan yang dipilih untuk pula disesuaikan dengan kondisi objektif pendidikan di tiap daerah masing-masing.

Kemudian pula berkaitan dengan kualitas SDM pendidik yang selama beberapa generasi ini cenderung dipenuhi oleh guru-guru yang terbiasa mengajar dengan pola monolog dan kurang interaktif apalagi memantik minat baca-tulis siswanya. Mengingat belakangan ini sekolah tinggi keguruan sedang pula menjamur dan diserbu banyak calon mahasiswa, ini menjadi momentum baik untuk memutus generasi pendidik yang kolot dengan sistem pendidikan yang juga belum tepat, para calon guru yang akan membludak pada beberapa tahun mendatang ini harus pula terlahir sebagai insan pendidik yang kaya wawasan dan produktif menulis.

Kedua, masih berkaitan dengan komitmen pemerintah, seharusnya ada gerakan memassalkan budaya baca-tulis melalui berbagai program, semisal membuka peluang-peluang prestasi Literasi melalui berbagai perlombaan dan penghargaan, memassalkan program membaca nasional dengan membuka perpustakaan keliling sampai ke desa-desa atau RT-RT, juga secara rutin membuka ruang bazaar buku yang juga sudah tersubsidi di kawasan pendidikan agar lebih mudah dijangkau masyarakat.

Ketiga, yang pula penting adalah segera mencanangkan subsidi kertas sebagai kebijkan pro rakyat demi menopang penempaan Sumber Daya Manusia Indonesia. Hal ini mengingat masih banyaknya anak bangsa yang produktif menulis dan berwawasan segar, tetapi kesulitan mengakses sumber daya. Belum lagi banyaknya penerbit dan toko buku yang terancam gulung tikar karena minat baca yang menurun. Subsidi kertas dari pemerintah dan kebijakan hak cipta yang jelas akan mampu menengahi persoalan ini.

Keempat Sebagi bagian dari masyarakat, kita, gerakan mahasiswa, harus mulai mempelopori tumbuh berkembangnya budaya baca-tulis, dan secara pro aktif membongkar paradigma lama soal budaya literasi hanya milik anak sekolahan. Melalui berbagai cara hal ini dapat dilakukan, semisal gencarkan gerakan citizen journalism juga dapat menjadi contoh baik yang harus dilakukan saat ini. Sekali lagi saya tegaskan disini, yang terutama dari semua gagasan sederhana ini adalah mulai saat ini juga kita harus muncul sebagai pelopor di lingkungan terdekat. Dengan begitu, cita-cita bangsa ini untuk Berdaulat dan Mandiri serta mencapai Revolusi kemerdekaan yang seutuhnya bukanlah omong kosong seperti yang selama ini kita alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar